KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) BUKANLAH DELIK ADUAN.
Oleh : Jakobus Tarigan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya

Potret Kalteng 29 Des 2022, 13:41:55 WIB Opini
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) BUKANLAH DELIK ADUAN.

Potretkalteng.com – Opini - Kekerasan dalam rumah Tangga (KDRT) bukan lagi isu yang baru bagi masyarakat Indonesia. telah terlalu banyak kasus yang bergulir ke meja persidangan. Beberapa aktivis dan lembaga perlindungan perempuan pula sudah dibentuk oleh negara untuk membela dan memperjuangkan hak para korban. Ini menujukkan bahwa pencerahan masyarakat di pencegahan KDRT semakin tinggi. tetapi, yang sedikit perlu diluruskan dari KDRT ini, yaitu pemikiran yang selalu menempatkan korban KDRT artinya wanita, padahal laki- laki (suami) pula mampu sebagai korban.


Sebagaimana yang terjadi pada Publik Figure, Lesti Kejora sang suaminya. Yang kemudian membuat Lesti melaporkan suamiya tersebut ke pihak kepolisian. tetapi, pada akhirnya laporan tersebut dicabut dan mereka bersepakat buat berdamai. Keputusan Lesti Kejora mencabut laporan perkara kekerasan dalam tempat tinggal tangga (KDRT) yang dialaminya justru memancing poly reaksi negatif publik. banyak netizen di media umum merasa geram dengan keputusan Lesti. Kekesalan netizen diungkapkan melalui kolom komentar di unggahan terakhir Lesti di media sosial Instagram miliknya. masalah KDRT yg menghebohkan semua Indonesia itu dinilai tidak memberikan pelajaran dan pengaruh jera pada pelaku KDRT.

Baca Lainnya :


Perkara Lesti dan Rizky Bilar ini lalu mengelitik penulis membentuk tulisan ini, harapannya agar masyarakat bisa berakibat perkara tersebut pembelajaran supaya tindakan KDRT tidak terjadi di keluarga manapun. empiris hari ini, KDRT dijadikan alasan perceraiaan bagi pasangan yang ingin mengajukan somasi perceraian, baik itu cerai gugat maupun cerai talak.


Secara yuridis formal, KDRT ini sudah diatur tersenidri pada UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam tempat tinggal Tangga. Pengertian korban serta siapa saja yg diduga korban juga sudah diuraikan pada dalamnya. pada pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa “Korban ialah orang yang hadapi kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.”


Pada pasal selanjutnya dijelaskan yang termasuk dalam lingkup rumah tangga adalah suami, istri, anak, serta orang yang telah usang tinggal pada satu atap. Jadi, setiap orang yang termasuk dalam lingkup rumah tangga, entah itu suami, istri, anak bahkan pembantu sekalipun, Jika beliau mengalami kekerasan ataupun ancaman kekerasan dalam rumah tangga, dia termasuk korban KDRT.


Ada beberapa tindakan yang dapat dikategorikan sebagai KDRT oleh UU nomor 23 tahun 2004 ini, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, serta penelantaran tempat tinggal tangga. Mengacu di undang-undang ini, tidak seluruh tindak KDRT termasuk pelanggaran hukum aduan. Beberapa tindak KDRT dapat mengkategorikan menjadi delik biasa. KDRT yang artinya delik aduan diatur pada Pasal 51 hingga Pasal 53 UU nomor 23 Tahun 2004. 


Bila merujuk di ketentuan pasal-pasal tadi, tindak pidana KDRT yang termasuk pelanggaran hukum aduan meliputi, tindak pidana kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak mengakibatkan penyakit atau halangan buat menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, tindak pidana kekerasan psikis yang dilakukan sang suami terhadap istri atau kebalikannya yang tidak mengakibatkan penyakit atau halangan buat menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau aktivitas sehari-hari, tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan korelasi seksual yang dilakukan sang suami terhadap istri atau kebalikannya.


Selain ketiganya, tindak KDRT yang lain termasuk dalam pelanggaran hukum biasa. artinya, polisi permanen bisa bisa melakukan penyidikan serta penuntutan terhadap tindak pidana KDRT yang terjadi walaupun tidak terdapat aduan berasal korban atau laporan yang telah dibuat dicabut.


Bila melihat apa yang terjadi terhadap Lesti kekerasan fisik yg dilakukan oleh Rizky Billar sudah menimbulkan penyakit atau halangan buat menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau aktivitas sehari-hari, karena Lesti sempat dirawat beberapa hari di rumah Sakit. artinya secara aturan unsur pasal yang dikenakan merupakan Pasal 44 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 wacana Penghapusan KDRT. Jadi meskipun Lesti telah mencabut laporan masih terdapat kemungkinan perkara KDRT yang menjerat Rizky Billar bakal dilanjutkan sang penyidik meski telah dilakukan restorative justice. sebab, pasal 44 Ayat (1) yang dikenakan di Billar ialah delik biasa bukan delik aduan.


Jadi dari UU No. 23 Tahun 2004 ihwal Penghapusan KDRT, KDRT bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum aduan atau pelanggaran hukum biasa, indikator penilaiannya diukur dari dampak kekerasan yg disebabkan pada korban, ada yang tidak meninggalkan luka, meninggalkan luka, bahkan terdapat yang hingga menyebabkan disabilitas (stigma fisik). Jadi Pasal 44 Ayat (1) adalah pelanggaran hukum biasa, bukan pelanggaran hukum aduan. buat pelanggaran hukum biasa penuntutan bisa atau harus dilakukan ketika penegak hukum mengetahui adanya tindak pidana.

Pengetahuan tadi mampu dikarenakan laporan masyarakat, pengaduan atau laporan korban, atau diketahui sendiri oleh penegak aturan. Sedangkan pelanggaran hukum aduan, penuntutan hanya dapat dilakukan pada hal ada pengaduan berasal korban. sehingga delik biasa bisa permanen berjalan meskipun tak adanya penuntutan asal pihak korban atau pelapor telah mencabut laporannya 


Menurut penulis, sejatinya hukum pidana tidak mengenal perdamaian, apalagi Jika perbuatan pidana yang dilakukan artinya delik biasa. alasannya adalah aturan Pidana adalah hukum publik sehingga penegakannya menjadi kewenangan negara pada hal ini representasi negara, yaitu lembaga Kepolisian. Pertanyaannya lalu apakah pelaku tindak pidana mau berdamai menggunakan negara? Jadi sebenarnya tidak seluruh perbuatan pidana dapat diselesaikan melalaui penerapan Restorative Justice, karena hal tadi nihil kepastian aturan dan berpotensi jadi ajang pemerasan dan penyalahguinaan kewenangan.


Jika melihat respon publik di semua beranda media sosial pada negeri ini perkara KDRT Lesti Billar ini telah menyebabkan keresahan atau penolakan asal rakyat.pada akhirnya penulis berkseimpulan Pelaku KDRT mesti dieksekusi sesuai peraturan perundang undangan yang berlaku, supaya memberi efek jera bagi pelaku serta sebagai pelajaran bagi masyarakat secara awam, sebagai akibatnya harapan kita insiden serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari. Semoga masalah KDRT yang menimpa Lesti bisa sebagai pelajaran berharga pada seluruh lapisan rakyat agar terhindar berasal jerat tindak pidana KDRT. sebab mampu saja KDRT itu banyak terjadi disekitar kita, tetapi kita menentukan membisu. Padahal yang dialami oleh Lesti hanyalah sebagian mungil daripada korban KDRT yg terdapat pada Indonesia. (red)







+ Indexs Berita

Berita Utama

Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment