Penegakan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film di Indonesia
Oleh : Audina Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya

Potret Kalteng 23 Mei 2022, 10:32:09 WIB Opini
Penegakan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film di Indonesia

Potretkalteng.com – Palangka Raya – Opini, Film menjadi media dalam memberikan alternatif hiburan bagi masyarakat dan keluarga, terutama semasa pandemi Covid-19. Tanpa disadari, kepekaan atas teknologi yang semakin meningkat ini menjadi peluang bagi para pihak atau oknum tertentu demi meraih keuntungan ekonomi semata dengan cara melawan hukum. Perbuatan seperti pembajakan film atau grafis hiburan lainnya ini, semakin marak terjadi dalam dunia digital melalui jejaring  internet. Hal ini karena aspek profit yang akan didapatkan dari tindakan pembajakan tersebut. Akibatnya kerugian yang diterima bagi industri film dilansir oleh Asosiasi Prosedur Film Indonesia dalam setiap tahunnya mencapai 5 triliun rupiah.

Polemik pembajakan film ini terus  terjadi, karena prospek film ini bagian dari hak cipta yang kental akan keuntungan. Pada tahun 2019, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi telah melakukan pemblokiran lebih dari 1000 situs bajakan, diantaranya terdapat 22 situs bajakan favorit. Namun sayangnya, perkembangan situs pembajakan film hingga 2021 ini semakin lestari dan menjamur. Survei YouGov salah satu lembaga riset dan konsultasi pasar, menemukan hampir 2/3 dari masyarakat atau setara dengan 63% konsumen daring.

Berdasarkan data tersebut, telah membuktikan bahwa secara kualitatif peredaran film bajakan cenderung lestari dan meningkat. Selain itu, masyarakat selaku penonton kurang memperhatikan dampak dari tindakan pembajakan yang akan mengakibatkan merosotnya industri perfilman, khususnya perfilman tanah air. Oleh karenanya, perlu untuk memahami dan menghormati hasil karya intelektual seperti film sebagai bagian benda yang memiliki nilai ekonomis dan moralitas. Dengan demikian, perlu suatu pendekatan yuridis yang dapat digunakan sebagai instrumen untuk melakukan pencegahan dan penegakan terhadap sindikat pembajakan film ini.

Baca Lainnya :

Film Sebagai Bagian Kekayaan Intelektual

Kekayaan intelektual atau disebut dengan intellectual property dipandang sebagai jenis benda bergerak tidak berwujud yang terbagi menjadi 2 kategori yaitu hak cipta dan hak kekayaan industri. Hak cipta sebagai bagian dari intellectual property dikategorikan benda bergerak tidak berwujud yang secara normatif yuridis tercantum pada Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Hak cipta memiliki karateristik yang berbeda dari hasil kekayaan industri lainnya, karakteristik itu sedemikian rupa telah diisyaratkan pada Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta bahwa hak cipta memiliki prinsip deklaratif, artinya ketika hak cipta tersebut diumumkan, maka hak cipta tersebut dilindungi secara hukum tanpa dilakukannya pencatatan bagi pihak pencipta.

Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta sebenarnya tidak mengakomodir secara eksplisit mengenai film sebagai jenis ciptaan pada hak cipta. Namun, film dikategorikan sebagai bentuk dari hasil karya sinematografi yang jelas diatur pada ketentuan Pasal 40 Ayat (1) Huruf m pada UU Hak Cipta. Berdasarkan penjelasan pasal tersebut mengartikan karya sinematografi sebagai ciptaan yang berupa gambar bergerak (moving images). Dengan demikian, dapat diketahui bahwa film adalah salah satu hasil kekayaan intelektual berupa hak cipta. Implementasi pada ketentuan tersebut tidak tercermin dengan baik dikalangan publik yaitu masyarakat. Sindikat pembajakan film semakin meluas dan merusak citra diri film sebagai karya intelektual yang harus dihormati eksistensinya. Selain itu, pembajakan film melahirkan eksploitasi industri perfilman secara ilegal.

Film sebagai bagian dari hak cipta memiliki hak  eksklusif didalamnya sesuai Pasal 4 UU Hak Cipta, yaitu Hak moral dan hak ekonomi.. Hak ekonomi seharusnya patut dipahami oleh para oknum tertentu apabila berkenaan meraih keuntungan finansial yang legal melalui penjualan dan peredaran film. Syarat utamanya terletak pada pengalihan yang dapat dilakukan dengan mengacu pada Pasal 16 ayat (2) UU Hak Cipta, salah satunya dengan adanya perjanjian tertulis, Selain itu, apabila pengalihan hak ekonomi dilakukan oleh pemegang hak cipta atau hak terkait, maka pengalihan akan melalui instrumen lisensi untuk melaksanakan hak ekonomi tersebut kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis sebagaimana dijelaskan pada Pasal 80 UU Hak Cipta. 

Pemerintah patut bertanggung jawab untuk mengatasi hal tersebut. Pasal 54 UU Hak Cipta telah memberikan 3 opsi kewenangan pada pemerintah untuk mencegah pelanggaran hak cipta yang berbasis teknologi informasi.

Kewenangan tersebut dirasa tidak efektif apabila tidak diikuti dengan penindakan secara hukum. Pemberian efek jera pada pelaku pembajakan film dapat dilakukan dengan menerapkan pasal khusus sebagai dasar dakwaan untuk mendakwa pelaku pada pengadilan. Pasal khusus yang dimaksud adalah pasal-pasal pidana pada UU Hak Cipta yang secara lex specialis dapat diterapkan, salah satunya menggunakan Pasal 113 ayat (3) Jo Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e dan/atau huruf g untuk penggunaan secara komersial. Selain itu, mengingat sebagai dampak terjadinya modernisasi pada dunia teknologi yang semakin kompleks.

Sebagaimana Pasal 32 ayat (2) Jo Pasal 48 ayat (2) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana dapat diterapkan.(red)







+ Indexs Berita

Berita Utama

Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment